Halaman

"Memang Baik Menjadi Orang Penting, Tapi Jauh Lebih Penting Menjadi Orang Baik" (Ebet Kadarusman)

Rabu, 23 Juni 2010

Misi Keluarga Sakinah

Seperti apakah bentuk keluarga kita? Maklum, ada yang mengatakan rumahku surgaku. Tapi, tak sedikit mengatakan rumah gue kayak neraka. Atau, hambar saja. Tak ada rasa bahwa kita punya keluarga. Apa pun bentuk keluarga kita itu adalah hasil dari perpaduan tiga faktor pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga kita dalam membangun keluarga, dan macam apa aktivitas yang ada dalam keluarga kita.
Kalau dalam paradigma kita bahwa keluarga bahagia adalah yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam berkeluarga adalah mengkapitasisasi kekayaan. Maka, kita akan mencari istri atau suami anak tunggal dari calon mertua yang kaya. Pusat perhatian kita dalam berkeluarga adalah menambah kekayaan.
Bagi paradigma berkeluarga seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya.
Karena itu, membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi islami untuk saat ini dan masa depan.
Jadi, sangat penting bagi seorang muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Apa itu kompetensi berkeluarga? Kompetensi berumah tangga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Maka tak heran jika Rasulullah saw. menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih pasangan hidup. Jangan asal pilih.
Abi Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi wanita karena agamanya, dan merugilah orang yang menikahi wanita hanya karena harta, kecantikan, dan keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdillah bin Amrin r.a. berkata, bahwa Rasu­lullah saw. telah bersabda, “Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena kecantikannya, sebab kecantikan itu pada saatnya akan hilang. Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena hartanya, sebab harta boleh jadi membuatnya congkak. Tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab seorang wanita budak yang jelek lagi hitam kelam yang memiliki agama (kuat dalam beragama) adalah lebih baik daripada wanita merdeka yang cantik lagi kaya, tetapi tidak beragama.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Abbas r.a. berkata, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Empat perkara, barangsiapa memilikinya berarti dia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, badan yang sabar dikala mendapat musibah, dan istri yang dapat menjaga kehormatan diri serta dapat menjaga harta suami.” (HR. Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath, sedang sanad dalam salah satu dan dua riwayat adalah bagus).
Keshalihan diri kita dan pasangan hidup kita adalah modal dasar membentuk keluarga samara. Seperti apakah keluarga samara? Yaitu keluarga dengan karakteristik sebagai berikut:
- Keluarga yang dibangun oleh pasangan suami-istri yang shalih.
- Keluarga yang anggotanya punya kesadaran untuk menjaga prinsip dan norma Islam.
- Keluarga yang mendorong seluruh anggotanya untuk mengikuti fikrah islami.
- Keluarga yang anggota keluarganya terlibat dalam aktivitas ibadah dan dakwah, dalam bentuk dan skala apapun.
- Keluarga yang menjaga adab-adab Islam dalam semua sisi kehidupan rumah tangga.
- Keluarga yang anggotanya melaksanakan kewajiban dan hak masing-masing.
- Keluarga yang baik dalam melaksanakan tarbiyatul aulad (proses mendidik anak-anak).
- Keluarga yang baik dalam mentarbiyah khadimah (mendidik pembantu).
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [QS. Ruum (30): 21]
Untuk apa Allah memberikan samara kepada pasangan suami-istri muslim? Sebagai modal untuk meraih kebahagiaan. Bukankah tujuan hidup kita sebagai seorang manusia adalah memperoleh kebahagian? Bagi seorang muslim, ada tiga level kebahagiaan yang ingin dicapai sesuai dengan QS. Al-Baqarah (2) ayat 201.
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
- رَبَّنـــَا آتِــنَا فِي الدُّنْيــَا حَسَنَةً
- وَ فِي اْلآخَرَةِ حَسَنَةً
- وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Itulah sebaik-baik doa seorang muslim. Kita bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia. Ketika meninggalkan dunia, kita mendapat kebahagiaan di akhirat. Yang dimaksud dengan al-hasanah (kebaikan) di akhirat adalah surga. Tapi, ada orang yang langsung masuk surga dan ada orang yang dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka baru kemudian masuk surga. Nah, obsesi tertinggi kita adalah wa qinaa adzaaban nar, masuk surga dengan tanpa tersentuh api neraka terlebih dahulu. Sebab, inilah kesuksesan yang sebenarnya bagi diri seorang mukmin.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [QS. Ali Imran (3): 185]
Karena itu, doa rabbanaa atinaa fiiddunya hasanah… haruslah menjadi syiar yang selalu disenandungkan oleh setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia. Ketika seorang muslim dan muslimah menikah, syiar ini bertransformasi menjadi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim (66): 6)
Inilah tugas pokok seorang kepala keluarga: menjaga agar tidak satupun anggota keluarganya tersentuh api neraka. Untuk menunjukkan bahwa tugas ini sangat penting, Allah swt. memvisualisasikan bagaimana dahsyatnya neraka dan tidak nyamannya orang yang masuk ke dalamnya. Bahkan, orang yang masuk ke dalam neraka menjadi bahan bakar. Diperlakukan kasar dan keras. Padahal, kita tidak pernah ridha jika istri kita diganggu orang di jalan, kita marah jika anak kita dilukai orang, kita tidak mau anggota keluarga kita tidak nyaman akibat kepanasan atau kehujanan. Itulah bentuk rasa sayang kita kepada mereka. Seharusnya, bentuk kasih sayang itu juga menyangkut nasib mereka di akhirat kelak. Kita tidak ingin satu orang anggota keluarga kita tersentuh api neraka.
Tugas berat ini tentu tak mungkin ditanggung oleh seorang kepala keluarga sendiri tanpa ada keinginan yang sama dari setiap anggota keluarga. Artinya, akan lebih mudah jika seorang suami beristri seorang muslimah yang punya visi yang sama: sama-sama ingin masuk surga tanpa tersentuh api neraka. Inilah salah satu alasan bahwa kita tidak boleh asal dalam memilih pasangan hidup.
Karena itu, hubungan suami-istri, orang tua dan anak, adalah hubungan saling tolong menolong. Saling tolong menolong agar tidak tersentuh api neraka. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. At-Taubah (9): 71]
Tolong menolong. Itulah kata kunci pasangan samara dalam mengelola keluarga. Suami-istri itu akan berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola keluarga mereka. Sungguh indah gambaran pasangan suami-istri yang seperti ini. Suaminya penuh rasa tanggung jawab, istrinya mampu menjaga diri dan menempatkan diri. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” [QS. An-Nisa' (4): 34]
Pasangan suami-istri yang seperti itu sadar betul bahwa keluarga harus dikelola seperti sebuah organisasi. Bukankah keluarga adalah unit terkecil dalam susunan organisasi masyarakat? Bukankah keluarga miniatur sebuah negara? Jadi, kenapa banyak keluarga berjalan tanpa pengorganisasian yang memadai?
Jika kita yakin bahwa keluarga adalah sebuah lembaga, maka sebagai lembaga harus terorganisasi. Ada pemimpin ada yang dipimpin. Ikatan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah ikatan kerjasama. Kerjasama haruslah punya tujuan yang terukur. Dan tujuan yang ingin dicapai haruslah diketahui bagaimana cara mencapainya. Itu artinya, cara pencapaiannya harus direncanakan. Setiap rencana baru bisa sukses jika diiringin kemauan yang kuat (azzam).

Sumber : Dakwatuna.com

Sabtu, 12 Juni 2010

MEMBANGUN RELASI

Dalam Al Qur'an, Allah telah menetapkan nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan dimaksudkan sebagai pedoman hubungan antar kelompok manusia di dunia. Nilai ini harus dibangun diatas landasan multikulturisme, multiagama, multibahasa, multibangsa dan pluralisme secara umum karena Al Qur'an menganggap ras, suku, budaya dan agama sebagai masalah alami dalam kehidupan. Oleh karenanya, perbedaan tadi tidak boleh dijadikan ukuran kemuliaan dan harga diri tetapi ukuran terbaik manusia adalah dari kesalehan sosialnya.

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki (Adam as) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang-orang yang bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS Al Hujurat : 13)

Persamaan adalah prinsip mutlak dalam Islam dalam membina hubungan sesama manusia tanpa perbedaan. Seperti ditegaskan Rasulullah Saw. dalam hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik:

"Asal usul manusia adalah sama tidak ubahnya seperti gigi-gigi sisir. Keutamaan seseorang hanya terletak pada ketaqwaannya kepada Allah Swt."

Hadit di atas dengan tegas menyatakan bahwa didepan kebenaran dan hukum semua manusia harus dianggap sama dan terjamin kehormatannya, harga diri dan kebebasannya. Kelebihan seseorang hanya dilihat dari sejauh mana konsistensinya terhadap kebenaran dan hukum tersebut serta sebesar apa antusiasnya untuk berbuat kebajikan dan menjauhkan diri dari tindakan melanggar hukum, kejahatan dan kedzhaliman.

Konteks Ke-Indonesia-an

Menurut estimasi Juli 2003, penduduk Indonesia berjumlah 234.893.453 orang dan tersebar dilebih 17.000 pulau di tataran Nusantara tersebut. Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik sebagai negara multi etnik. Dprekirakan ada 931 etnik dan 731 bahasa di Indonesia. Ada etnis yang besar dan ada pula etnis yang kecil. Diantara etnis yang besar antara lain Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Minangkabau, Bali, Batak, Bugis dan Cina. Sebagai negara yang multi etnis, tidak hanya bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, budaya, arsitektur, makanan dan lain-lain yang berbeda-beda menurut etnisnya. Indonesia juga merupakan sebuah negara yang mempunyai tredisi religi yang cukup kuat. Setidaknya enam agama besar yang diakui negara menjadi dasar kekuatan religi tersebut. Keenam agama tersebut adalah Islam, Katolik, Protestan,. Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.

Indonesia ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni. Akan tetapi, jika keragaman ini tidak dikelola dengan baik konflik akan mudah pecah. Futurolog seperti John Naisbitt dan Aflin Toffler juga memprediksikan tentang menguatnya Kesadaran Etnik (Etnic Consciousnes) di banyak negara pada abad 21 ini. Sementara itu, Samuel Huntington (1977) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal terjadinya perbenturan masyarakat "dimasa depan"yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban "Clash of Civilization".

Pertanyaannya adalah apakah pola hidup dalam keberagaman sudah membudaya dalam alam kesadaran orang Indonesia? Sedalam apakah pemahaman kita akan keberagaman orientasi, referensi dan tindakan-tindakan dalam pengambilan kebijakan bagi kemaslahatan bangsa kita? Apakah kesadaran etnik yang bermunculan di berbagai wilayah tanah air akan mengarah pada perbenturan bangsa kita? Masalah-masalah apa sajakah yang mudah memunculkan konflik dalam masyarakat multi etnik? Apakah metode yang dapat digunakan dalam mengatasi konflik berbasis etnik?
Makalah ini bermaksud membahas masalah-masalah tersebut, sekalipun hanya bersifat permukaan saja. Tidak ada pretensi untuk membahas dan memberi jawaban serta solusi yang tuntas. Makalah ini dimaksudkan sekedar untuk memancing diskusi dan pembahasan lebih lanjut.

Membangun Hubungan Kekuatan

Dalam masyarakat yang multi etnik, pola dan pergaulan yang etnosentrik dapat berakibat konta produktif. Bisnis yang maju pesat dan dikuasai oleh satu kelompok etnis saja sama seperti menyimpan bom waktu yang pada saat tertentu akan menimbulkan ledakan sosial.

Sosialisasi kesadaran multientik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial, yaitu suatu cara berhubungan antar individu atau individu dengan kelompok yang menimbulkan hubungan tertentu. dari hubungan ini diharapkan, mereka sling mengenal, , semakin akrab, lebih mudah bergaul dan lebih percaya pada pihak lain dan akhirnya dapat bekerjasama serta saling bersinergi. Kesemua itu dapat difahami sebagai bagian dari peradaban manusia. Proses sosialisasi dapat dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati (Pidarta, 1997:147).

Interaksi akan terjadi apabila memenuhi dua syarat yaitu kontak sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dan saling beradaptasi pada lingkungannya secara totalitas. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata sosial antar etnik dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akulturasi antar etnik. Peradaban adalah jaringan kebudayaan. Biasanya setiap budaya memiliki wilayah (Cohen, 1970:64). Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antar etnik . Saling ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan hubungan kekuatan (power relationships) semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa: perdagangan, kesenian atau pendidikan.

Hubungan kekuatan dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan adaptasi antar etnik dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah kebudayaan yang sudah lebih maju (Pidarta, 1997:158). Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti "kerjasama" adalah suatru kebudayaan. Mislanya, kerjasama antara etnik cina dan jawa dalam distribusi mobil dapat menciptakan hubungan kekuatan yang kokoh.

Jumat, 11 Juni 2010

KERENDAHAN HATI DAN KEPEKAAN SOSIAL

KH Rahmat Abdullah (Alm)


Merendahlah, engkau kan seperti bintang-gemintang
Berkilau di pandang orang
Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi
Janganlah seperti asap
Yang mengangkat diri tinggi di langit
Padahal dirinya rendah-hina

Alangkah nikmatnya dicintai dan mencintai, dipercaya dan mempercaya, Alangkah mengharukannya dukungan rakyat yang tanpa pamrih. Kadang mereka lebih galak membela kita daripada kita yang mereka bela. Rakyat bisa datang berjalan kaki bermil-mil, dalam panas dan haus. Untuk apa mereka begitu antusias ? Apa jaminan caleg dan jurkam yang berjanji memperjuangkan nasib mereka ?


Dukungan ini tak lepas dari realita yang mereka temukan dalam kehidupan para kader di pelbagai medan kehidupan. Yang komitmen kerakyatannya tak terragukan. Yang kepekaannya terhadap nasib mereka selalu hidup dan tajam. Yang tertempa oleh ke-ikhlasan dan kesabaran sehingga tak tergiur oleh iming-iming dunia, KKN atau berbagai tekanan, ancaman atau godaan. Kecuali bila Anda adalah sekian dari sekian kekecualian, penumpang gelap di gerbong atau lok keadilan.

Akan teruskah dukungan berdatangan, ataukah seperti penumpang bus yang silih berganti dan berbeda kepentingan atau turun dengan penuh umpatan penyesalan ? Demikian mengharukan dukungan datang. Tetapi awas, tiba-tiba ia dapat berubah menjadi taufan dan amuk balik yang mematikan.

Rakyat terlalu lelah untuk bisa memahami tokoh partai, kiayi muda atau aleg yang takut mengunjungi mereka, karena harus berhati-hati jangan sampai kemeja mahalnya ternoda debu di gubug mereka. Atau pantalonnya lusuh karena duduk diatas bangku reot di warung mereka. Atau nafasnya sesak duduk di rumah mereka yang kecil dan kurang udara. Atau jangan sampai mobil hasil dukungan rakyat tergores di gang sempit tempat domisili mereka. Rasanya terlalu mewah untuk bermimpi kapan pemimpin yang mereka dukung mengikrarkan (dan mem-buktikan), “Bila Anda perlu mengangkut keluarga yang sakit di tengah malam buta, silakan ketuk pintu dan kami akan antar ke rumah rawat”. Mereka tak punya cukup keberanian untuk menyeruak rumah baru para pemimpin yang sudah serba mewah. Mereka pun tak cukup mengerti bahwa ada (isteri) sesama kader juga saling menunggu, kalau-kalau tetangga yang sukses dengan dukungan kita mau ‘melempar’ mesin cuci butut atau kompor bekas yang sudah berganti dengan produk paling mutakhir, atau membeli tambahan buku saat anak-anak mereka berbelanja, untuk teman sekelas atau anak tetangga lainnya.

Kader Pra Pemilu

Banyak kader partai tahan berbincang berjam-jam dengan rakyat jelata, kuli bangunan dan pengangguran, saat ia masih sama-sama miskin. Ia bisa dengan lahap menenggak suguhan teh panas di gelas mereka yang sederhana atau melahap sepotong dua tempe yang mereka goreng diatas perapian kayu bakar atau kompor minyak yang selalu menyimpan ancaman terselubung untuk meledak kapan-kapan waktu. Ia masih punya frekuensi dan gelombang setara untuk saling berbagi suka dan duka. Yang membedakan mereka mungkin satu, rakyat tak punya lidah yang cukup sistematis dan tidak punya saluran yang memadai untuk mengalirkan aspirasi dan sang kader punya ‘sistem’ untuk mengusung aspirasinya lewat saluran-saluran yang banyak dan lancar. Saluran itu adalah suara rakyat, keikhlasan mereka memilih dalam pemilu dan husnuzzhan yang luar biasa tingginya !

Apa yang diharapkan rakyat dari dukungan mereka ? Ingin jadi anggota parlemen ? No way ! Mau jadi pejabat tinggi di partai atau di birokrasi ? Tak mimpi, lah. Begitu tulus harapan mereka ; agar kebenaran dan keadilan bisa tegak di tangan para kader yang akrab dan beradab, bersih dari KKN dan fasih membacakan ayat-ayat kebenaran serta lantang mempidatokan gagasan-gagasan, janji-janji dan gugatan-gugatan. Mereka punya basic insting yang murni untuk mendukung siapa yang jujur, asal dekat, terjangkau dan meyakinkan.

Terlalu rumit mencerna teori-teori politik dan paradigma da’wah, kecuali para kader telah menyajikannya dengan pendekatan yang membumi. Otak mereka terlalu sarat beban hidup, sehingga pilihan yang mudah diingat ialah wajah yang sering datang pergi, lancung atau pendustakah mereka.

Disini demokrasi menjadi mesin culas orang-orang yang ingin meraih kekuasaan dengan cara-cara licik. Partai dominan membiarkan kemiskinan untuk pada saatnya di-tukar dengan suara murah di bilik pemilu. Partai mitos sengaja merawat kebodohan dan memupuknya dengan berbagai mimpi kewalian, kekeramatan dan kemenangan agar rakyat tetap mendukung dan tak menggunakan nikmat akal yang begitu mahal.

Rakyat Pasca Pemilu

Kecuali dari kelompok pengejar kedudukan – seperti bandar-bandar judi, bandar bakso atau pemulung yang menjadi aleg dengan membeli kursi itu dari partainya dengan tarif ratusan juta rupiah – selebihnya rakyat adalah rakyat. Yang nasib mereka terus bergulir. Naik turun dalam kehidupan. Dengan gubug yang semakin rapuh, tergusur atau menjadi gedung, anak yang semakin banyak tuntutan dan status yang selalu diatasnamakan.

Terkadang muncul penyimpangan pertumbuhan seksual anak-anak, karena kondisi rumah yang tak kondusif bagi pendidikan. Harta habis untuk menebus anak yang di tangkap polisi atau memasukkan anak-anak ke panti rehabilitasi mangsa narkoba.
Yang hanif tetap dengan harapan-harapan yang entah kapan dapat terwujud. Hal yang tak berubah dari mereka; dukungan.

Mereka sangat sederhana dan tidak mengada-ada. Bila mereka mulai kecewa terhadap partai-partai atau petinggi-petinggi partai atau apa saja komentar bisa sangat getir:
- “Ah, lehernya sudah tak bisa menoleh ke gubug kami lagi”
- “Kerongkongannya sudah tak bisa dilewati gorengan singkong kami”
- “Mereka orang-orang steril, alergi ketemu rakyat”
- “Ah, kita kan cuma tangga, sesudah mereka menginjak-injak punggung kami, ya sudah, tinggal senang-senang saja”
- “Dulu, waktu masih perlu dukungan suara untuk Pemilu mereka sering datang, sekarang 3 lebaran lewat, la salam wala kalam”
- “Dulu sih, kita masih berharap. Sekarang, apa bedanya dengan partai lain. Kadernya sombong-sombong”
- “Apa yang berubah, suaranya di parlemen: sepi, sepi, sepi ! Yang kita dengar ramai, itu klakson mobil mengkilapnya. Pakaian isterinya makin gemerlap. Mainan anaknya makin norak. Sudah itu mobil dinas dipakai nganter anak. Ngomongnya dulu Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu karena tamunya tamu pribadi”


Kedekatan adalah Bahasa Paling Fasih

Tidak benar rakyat senang betul melihat para pemimpin lapar dan miskin. Ya, romantisme siapa saja bisa terpanggil oleh kebersahajaan dan kesederhanaan, terlebih bila itu keluar dari diri dan keluarga kader, pemimpin dan da’i.

Tidak perlu buang energi, berkerut wajah dan berbusa mulut untuk meredam suara-suara begini. Mereka hanya memerlukan keakraban, kebersahajaan dan kesederhanaan, lalu berbagai prasangka segera menguap.

Bukan pergelaran dendam kemiskinan, lagak pahlawan kesiangan atau pura-pura peduli. Mereka siap dibohongi asal nampak logis.

Tetapi itu mustahil, kecuali Anda memang dilahirkan untuk berbohong. Banyak orang panik menghadapi kritikan yang sebagiannya memang berbukti, sebagiannya harapan dan selebihnya ‘kenaifan’ analogi sejarah.

Bagaimana mungkin pemimpin disuruh pergi berkeliling negeri malam-malam untuk mengintai ibu-ibu yang menggodog batu, agar anak-anaknya tenang ?

Kini di siang hari mereka telah menggodog kucing, untuk ‘menenangkan’ mereka. Kadang naluri ‘birokrat’ bekerja dengan jawaban-jawaban oral yang sengit dan apologik, padahal jawabnya tersimpan dibalik kerendahan hati dan kepekaan sosial kader